KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
KESEHATAN MENTAL DALAM PERSPEKTIF
AGAMA ISLAM
NUR RAHMAH ABDULLAH-1771342019
ABSTRAC
Alexander
Schneiders says: "Mental health science is the science that develops and
implements a set of practical principles aimed at achieving and maintaining the
psychological welfare of human organisms and preventing mental gait and
inability to adapt" (Schneiders, 1965). Mental health according to
Daradjat (1996) is the avoidance of people from symptoms of mental disorders
(Neurose) and from the symptoms of mental illness. This definition received
many acclaim from various psychiatry (mental medicine). According to this
definition a healthy person is a mental person who is protected from all the disturbances
and mental illness. What is meant by mental disorder is often anxious unknown
why, lazy no passion for work, and the body feels lethargic. Psychopathology in
Islam, according to Muhammad Mahmud (1984: 402) can be divided into two
ketegoti; is worldly, ukhrawi. How to overcome mental health disorders in Islam
can be done with Islamic psychotherapy. Al-Khalidi (1996: 8) membgi treatment
with two parts: hissi & ukhrawi. Ibn Qayyim (1993: 18-20) divides
psychotherapy in two categories as well, namely: tabi'iyyah & syar'iyyah.
Key Word:Mental Health, Islam
ABSTRAK
Alexander Schneiders mengatakan
bahwa:”Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan menerapkan
seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan
psikologis organisme manussia dan mencegah ganngguan mental serta
ketidakmampuan menyesuaikan diri”(Schneiders,1965). Kesehatan mental menurut
Daradjat (1996) yaitu terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (Neurose)
dan dari gejala-gejala penyyakit jiwa. Definisi ini banyak mendapat sambutan
dari berbagai kalangan Psikiatri (kedokteran jiwa).Menurut definisi ini orang
yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala gangguan dan
penyakit jiwa. Yang dimaksud dengan gangguan jiwa adalah sering cemas tanpa
diketahui sebabnya, malas tidak ada gairah untuk bekerja, dan badan terasa
lesu.Psikopatologi dalam islam, menurut Muhammad Mahmud (1984:402 ) dapat
dibagi dalam dua ketegoti; bersifat duniawi, bersifat ukhrawi. Cara mengatatasi
ganggun kesehatan mental dalam islam dapat dilakukan dengan psikoterapi islam.
Al-Khalidi (1996:8) membgi pengobatan dengan dua bagian:hissi &
ukhrawi. Ibnu Qayyim (1993:18-20)
membagi psikoterapi dalam dua kategori pula, yaitu : tabi’iyyah &
syar’iyyah
Kata kunci: Kesehatan Mental, Agama
Islam
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah
saya yang berjudul “Pengaruh Stres terhdap Prestasi Belajar” dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Adapun
tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi tugas Karya Tulis Ilmiah.
Dalam penulisan karya ilmiah ini saya banyak mendapat tantangan dan hambatan
yang Alhamdulillah dapat saya selesaikan dengan baik.
Saya
menyadari karya tulis saya masih belum sempurna baik itu dari penulisan, gaya
bahasa, serta dari ilmu yang saya peroleh. Oleh sebab itu, saya sangat
mengharapkan adanya kritikan dan saran yang diberikan oleh ibu/bapak dosen.
Saya perharap karya tulis yang saya buat bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan
khususnya para mahasiswa.
BAB I
A.
Pendahuluan
Sebagai seorang mahasiswa yang tidak lepas dari
kegiatan proses pembelajaran yang menuntut sebuah hasil yang memuaskan sebagai
prestasi atas apa yang telah dilakukan. Tekanan yang diberikan kepada para
mahasiswa untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam kegiatan pembelajaran
sering kali membuat ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan seorang
mahasiswan untuk memenuhinya. Sehingga, para mahasiswa sering gagal untuk
memperoleh hasil yang sesuai pada proses kegiatan pembelajaran.
Psikopatologi
dalam islam, menurut Muhammad Mahmud (1984:402 ) dapat dibagi dalam dua
ketegoti; petama, bersifat duniawi. Macam-macam psikopatologi dalam kategori
ini berupa gejala-gejala atau penyakit kejiwaan yang telah dirumuskan dalam
wacana psikologi kontenporer. Bentuk bentuk psikopatologi ini banyak jenisnya,
namun jenis yang paling umum adala neurosis dan psikosis; Kedua, bersifat
ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai
nilai moral spiritual dan agama. Penyakit hati merupakan bagian dari
psikopatologi ukhrawi, karena pola pikirnya didasarkan atas kerangka ruhaniah (spiritual). Perilaku
yang membuat ruh kotor dapat mengantarkan individu pada penyakit hati.
Sebagaimana
dalam hasis Nabi saw riwayat al-Thurmudzi dari Abu Hurairah, menjadikan
titik-titik hitam didalam qalbu manusis. Apabila Qalbu penuh dengan titik-titik
itu maka cahayanya memudar, fungsinya melemah dan menjadi terkunci (khatam)
terhadap kebenaran. Dominasi qalbu diambil alih oleh hawa nafsu, sehingga
manusia menjadi sakit. Tugas manusia adalah menghilangkan titik-titik itu satu
persatu dengan meninggalkan dosa dan menghapusnya dengan istigfar, taubat dan
berbuat kebaikan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada karya tulis ini adalah
sebagai berikut;
1.
Asumsi Dasar
Kesehatan Mental Dalam Islam
2.
Kesehatan Mental
Dalam Wacana Islam
3.
Dimensi-dimensi
Kesehatan Mental Dalam Islam
4.
Psikopatologi
Dalam Islam
5.
Psikoterapi Dalam
Islam
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dapat penulisan karya tulis ini adalah
sebagai berikut;
1.
Untuk mengetahui
Asumsi Dasar Kesehatan Mental Dalam Islam
2.
Untuk mengetahui
Kesehatan Mental Dalam Wacana Islam
3.
Untuk mengetahui
Dimensi-Dimensi Kesehatan Mental Dalam Islam
4.
Untuk mengetahui
Psikopatologi Dalam Islam
5.
Untuk mengetahui
Psikoterapi Dalam Islam
D.
Manfaat
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut;
1.
Memberikan
Pengetahuan mengenai Asumsi Dasar Kesehatan Mental Dalam Islam.
2.
Memberikan
Pengetahuan menegnai Kesehatan Mental Dalam Wacana Islam.
3.
Memberikan
Pengetahuan mengenai Dimensi-Dimensi Kesehatan Mental Dalam Islam.
4.
Memberikan
Pengetahuan mengenai Psikopatologi Dalam Islam
5.
Memberikan
Pengetahuan mengenai Psikoterapi Dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Kesehatan Mental
Kesehatan mental menurut Daradjat
(1996) yaitu terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa (NEUROSE) dan dari
gejala-gejala penyakit jiwa. Menurtu definisi ini orang yang sehat mentalnya
adalah orang yang terhindar dari segala gangguan dan penyakit jiwa. Yang
dimaksud dengan gangguan jiwa adalah sering cemas tanpa diketahui sebabnya,
malas tidak ada gairah untuk bekerja dan badan terasa lesu.
Gejala-gejal tersebut dalam tingkat
lanjut terdapat pada anxiety, neurasthenia, hysteria, dan sebagainya. Sedangkan
sakit jiwa adalah orang yang pandangannya jauh berbeda dengan pandangan pada
umumnya, jauh dari realitas.
2.2.
Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dengan
masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
Definisi ini lebih luas dan bersifat
umum, karena dihubungkan dengan kehidupan secraa keseluruhan. Kesanggupan untuk
menyesuaikan diri itu akan membawa orang kepada kenikmatan hidup dan
terhindar dari kecemasan, kegelisahan,
dan ketidakpuasan. Disamping itu ia penuh dengan semangat dalam hidup. Untuk
dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri.
Menurut definisi yang kedua, orang
yang sehat mentalnya ialah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam
hidupnya, sehingga ia dapat menghindarkan tekanan-tenakan perasaan atau hal-hal
yang membawa frustasi.
Ada definisi lain mengenai kesehatan
mental yaitu kesehatan mental adalah pengetahuain dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain;
serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Definisi ini mendorong orang
memperkembangkan dan memanfaatkan segala potensi yang ada. Jangan sampai ada
bakat yang tidak tumbuh dengan biak, atau yang digunakan dengan cara yang tidak
memawa kebahagiaan, yang mengganggu hak dan kepentingan orang lain. Bakat yang
tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, akan memmbawa kepada kegelisahan
dan pertentangan batin. Mungkin pula orang mendapat kesempatan untuk
mengembangkan bakat dan potensi yang ada padanya dengan baik, tapi kepandaian
dan kecerdasannya itu digunakan untuk menipu, mengambil hak orang lain, atau
menyengsarakan denagn fitnahan yang dibuat-buatnya.
Definisi terakhir mengenai kesehatan
mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya.
Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran,
perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup, harus saling membantu dan
kerjasana satu sama lain, sehingga dapt dikatakan adanya keharmonisan, yang
menjauhkan orang dari perasaan ragu dan bimbang, serta terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin.
Dapat dikatakan bahwa kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit
jiwa, menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada
semaksimal mungkin dan membawa kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup. Perlu diingat bahwa kesehatan mental itu relatif
dimana keharmonisan yang sempurna antara seluruh fungsi-fungsi tubuh yang ada.
Yang dapat diketahui adalah berapa jauh jaraknya seseorang dari kesehatan
mental yang normal.
2.3.
Ruang Lingkup Kesehatan Mental
Kalangan ahli-ahli kesehatan mental
memberikan pembatasan bahwa ruang lingkup kesehatan mental itu adalah (1)
pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu dan masyarakat, (2) prevensi
dan penawaran terhadap penyakit dan kerusakan mental. Moeljono dan Litipun
(1999) secara garis besar ruang lingkup kerja kesehatan mental itu mencangkup
hal hal berikut:
1. Promosi kesehatan mental, yaitu usaha usaha
peningkatan kesehatan mental. Usaha ini dilakukan berangkat dari pendangan
bahwa kesehatan mental bersifat kualitatif-kontinum dan dapat ditingkatkan
sampai batas optimal.
2. Prevensi primer, adalah usaha kesehatan mental untuk
mencegah timbulnya gangguan dan sakit mental. Usaha ini dilakukan agar gangguan
dan sakit mental ini tidak terjadi.
3. Prevensi sekunder, adalah usaha kesehatan mental
menemukan kasus dini dan penyembuhan awal terhadap gangguan dan sakit mental.
Usaha dini dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah jangan
sampai cacat pada seseorang atau masyarakat.
4. Prevensi Tertier, merupakan usaha rehabilitas awal
yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Usaha ini dilakukan untuk mencegah diasabilitas dan ketidakmampuan, jangan
sampai mengalami kecacatan yaitu kecacatan menetap (Caplan, 1963;Parlmutter,
1982).
2.4. Konsep Dasar Kesehatan Mental Dalam Perspektif
Islam
Menurut
Mujibu (2005 ) dalam perspektif islam, manusia secara potensial dilahirkan
dalam kondisi fitri yang berarti suci, sehat, dan selamat, meskipun
aktualisasinya sangat tergantung pada pilihan dan lingkungannya. Kriteria sehat
dan sakit bagi seseorang tidak semata-mata terhindar dari penyakit jiwa, mampu
menyesuaikan dan mengembangkan diri, tetapi juga mampu melaksanakan
ajaran-ajaran aggama dengan baik danbenar, karena pelaksanan ajaran islam itu
merupakan bagain dari citra asli manusia yang harus dipelihara. Dari kerangka
itu, psikologi yang berbasis Islam dibangun berdasarkan paradigma bagaimana seharusnya (aksiologis), bukan
sekedar apa adanya (antologis) dan bagaimana caranya (epistimologis).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Data karya tulis ini dikumpulkan melalui berbagai
referensi yang dikaji oleh penulis baik berasal dari jurnal, buku ataupun media
online.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.Asumsi Dasar Kesehatan Mental Dalam Islam
Studi tentang kesehatan
mental paling tidak dapat bertolak dari tiga asumsi dalam melihat manusia yang
masing-masing asumsi memiliki implikasi psikologis yang berbeda beda.
1.
pada dasarnya jiwa manusia iti dilahirkan
dalam kondisi sakit, kecuali dalam kondisi tertentu ia dinyatakan sehat.
2.
Pada dasarnya
manusia itu dilahirkan dalam keadaan netral (tidak sakit dan tidak sehat).
Sakit dan sehatnya tergantung pada proses perkembangan kehidupannya.
3.
Pada dasarnya
jiwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan sehat, kecuali dalam keadaan tertentu
ia dinyatakan sakit.
Asumsi pertama
dikembangkan dalam aliran Psikoanalisa Sigmund Freud. Menurut Freud, jiwa
manusia itu dilahirkan dalam kondisi jahat, beuruk, bersifat negatif atau
merusak. Agar ia berkembang dengan positif, diperlukan cara-cara pendamping
yang bersifat impersonal dan derektif. Asusmsi ini selain bersifat pesimistik
dalam melihat perkemabngan kehidupan manusia, juga menafikan eksistensi manusia
sebagai makhluk tuhan yang mulia.
Asumsi kedua
dikembangkan aliran Psikobehavioristik radikal B.F. Skinner. Menurutnya, jiwa
manusia dilahirkan dalam kondisi netral, seperti tabula rasa (kertas putih).
Lingkunganlah yang menentukan arah perkembangan jiwa tersebut.Asumsi ini selain
bersifat deterministik dan mekanistik, juga memperlakukan manusi seperti
makhluk yang tidak mempunyai jiwa. Manusia dianggap seperti hewan yang
sama-sama tidak berjiwa, sehingga dapat diprogram seperti robot.
Asumsi ketiga
dikembangkan aliran Psikohumanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers. Menurutnya
jiwa manusia dilahirkan dalam kondisi sadar, bebas dan bertanggung jawab yang
dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri kearah
pemekeran seluruh petensi manusiawi secara penuh. Agar berkembang ke arah
positif, manusia tidak memerlukan pengarahan melainkan membutuhkan suasana dan
pendamping personal serta penuh penerimaan dan penghargaan demi mekarnya
potensi positif yang mekelat dalam dirinya. Meskipun asusmsi ini dikenal
sebagai asumsi yang optimistik dan mengakui kekuatan jiwa manusis, namun
sifatnya antroponsentris yang hanya
menggantungkan kekuatan manusi, tanpa mengaitkan teorinya pada kehendak mutlak
tuhan.
Dalam islam, meskipun
menggunakan karangka asumsi yang ketiga dalam membangun teori-eori kesehatan
mental, namun ia hendak tidak melepaskan diri dari paradigma teosentris. Jiwa manusia selain dituntut
sehat dan terbebas dari berbagai simptom-simptom psikologis, ia juga dituntut
mampu merambah pada wilayah ‘suprakesadaran’ yang transendental, seperti
beribadah kepada Allah AWT. Kehidupan manusia yang sehat harus sesuai dan
seiring dengan fitrah asalnya, yaitu hanif
(rindu akan kebenaran tuhan).
4.2.Kesehatan
Mental Dalam Wacana Islam
Mustafa Fahmi
mementukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental :
1.
Pola negatif
(salabi), bahwa kesehatan mental adalah terhidarnya seseorang dari segala
neurosis (al-amradh al ashabiyah) dan
psikosis (al-amradh al dzihniyah).
2.
Pola positif (ijabi), bahwa kesehatan mental adalah
kemampuan individu dalam mengembangkan diri dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungan sosialnya.
Dalam leksikologi al-qur’an, Sunna dan karya-karya
ulama’ klasik, tidak ditemukan istilah kesehatan mental (shihhah al-nafs) atau mental yang sehat (al-nafs al shahis), tetapi ditemukan istilah qalbu yang selamat (qalb salim) atau keselamatan qalbu (salamah al-qalb). Istilah lain untuk
mengungkap kesehatan mental adalah “afiyah”,
sehingga sering diungkap ‘sehat wal afiyat.’ Qalbu menjadi pusat kesehatan,
sebab ia merupakan sentral kepribadian manusia. Jika ia baik maka seluruhnya
baik, dan jika ia buruk maka semuanya buruk. Qalbu merupakan struktur manusia
yang paling dekat dengan ruh, sehingga penggunaan kesehatan qalbiah
sesungguhnya telah mewakili istilah kesehatan ruhaniah. Dengan demikian,
merminologi kesehatan mental dalam islam diidentikan dengan kesehatan qalbiah
atau kesehatan ruhaniah, yang wilayahnya lebih mengarah kepada kesehatan
spritual-islam.
Istilah “qalbu yang selamat” ini juga terdapat pada
leksikologi al-Qur’an maupun hadis, dan tidak ditemukan istilah al-qalb al-shahih. Hal itu dapat dilihat
pada surah al-Syu’ara ayat 89 dan al-Shaffat ayat 84, atau dalam doa yang
diajarkan oleh Nabi Saw:(Ya Allah) aku
meminta pada-Mu agar aku dapat bersyukur terhadap nikmat-Mu, dan memperbaiki
dalam peribadatan pada-Mu. Aku meminta pada-Mu perkataan yang jujur dan qalbu
yang selamat.” (HR.Turmudi dari Syaddad bin Aws.)
Secara semantik, kata shihhah atau shahih memiliki
konotasi makna sehat dari segala penyakit, baik penyakit pikis maupun psikis,
sedangkan kata salim cenderung
bermakna selamat dari jalan yang sesat atau selamat dari siksa atau murka
Tuhan, baik di dunia maupun diakhirat. Kedua kondisi ini selalu didambakan oeh
setiap orang, meskipun terkadang tidak terpenuhi salah satunya atau keduanya.
Orang yang shahih tidak mesti
kehidupannya salim. Sebaliknya, orang
yang salim tidak mesti shahih.
Kesehatan qalbiah (ruhaniah)adalah hati selamat dari
syahwat yang mengajak menyalahi perintah Allahh; selamat dari hal-hal yang
syubhat; selamat beribadah selain kepada-Nya; dan selamat dari keingkaran hukum
rasul-Nya. Karena itulah maka hati menjadi penuh cinta, takut dan berharap
kepada Allah, seeta bertawakkal, kembali, menghinakan diri dan mencari
keridhaan-Nya. Kesehatan hati menjauhkan seseorang pada perilaku syirik, bid’ah,
pembangkangan dan kebatilan. Kesehatan qalbiah adalah qalbu yang selamat yang
dapat menghadap kehadiran Allah Swt di hari kiamat kelak. Firman Allah swt
dalam QS. Al-Syu’ara ayat 89 “Kecuali
orang-orang yang menhadap Allah dengan hati yang bersih (qalb salim).”
Karena itulah. Ibnu Rusyd dalam “Fashl
al-Maqal” menyatakan ,” takwa itu
merupakan inti kesehatan mental (shihhah al-nufus).”
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi qalbu dalam tiga
bagian:
1.
Kalbu Shahih(jiwa yang sehat), yaitu kalbu
yang hidup (hayy),bersih dan selamat. Maksud kalbu yang sehat adalah kalbu yang
selamat dari belenggu hawa nafsu, sehingga ia mampu melaksanakan ibadah dan
melakukan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Aktivitas kalbu ini hanya
diorientasikan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Aktivitas kalbu ini hanya
diorientasikan kepada Allah, baik dalam takut, berharap, cinta, berserah diri,
ikhlas, dan bertaubat. Kalbu model ini dapat dipahami dalam QA.al-Syu’ara ayat
89 “Kecuali orang-orang yang menhadap
Allah dengan hati yang bersih (qalb salim).”
2.
Kalbu mayt(jiwa yang mati), yaitu kalbu yang
tidak lagi mengenai tuhannya, meninggalkan ibadah, perbuatan hanya untuk
menuruti hawa nafsu, sehingga mengakibatkan kebencian dan murkan-Nya. Kalbu
model ini menjadikan hawa nafsu sebagai pemimpin, syahwat sebagai panglima,
kebodoan sebagi supur, lupa sebagai kendaraan. Orientasi hidupnya hanya
termotivasi oleh hal-hal yang bersifat materi dan duniawi.
3.
Kalbu maridh (jiwa yang sakit), yaitu kalbu
yang hidup tetapi memiliki penyakit kejiwaan seperti iri hati, sombong atau
angkuh, membanggakan diri, gila kekuasaan, dan mudah membuat kerusakan dimuka
bumi. Model yang ketida dapat dipahami dalam QS.al-Baqarah ayat 10: “Di dalam hati mereka ada penyakit lalu
ditambah Allah penyakitnya.” (QS.al-Baqarah:10).
Dari kutipan tersebut dapat dipahami ahwa hakekat kesehatan mental, khususnya yang
dikembangkan dalam psikologi Islam, sangat berkaitan dengan tiga dimensi asasi
manusia, yaitu akidah, syariah, dan akhlak: (1) memiliki akidah dan keimanan
yang benar, sebagaimana keimanan yang telah dibawanya sejak di alam perjanjian
(alam mistaq). (QS. Al-A’raf ayat
172); (2) Mampu mengaktualisasikan dirinya secara optimal melalui ibadah, naik
ibadah vertikal (habl min-Allah)
maupun ibadah horizontal (halb min al-nas).
Ibadah merupakan bentuk aktialisasi diri yang fitri, alami dan kodrati (QS.
Al-Dzariyat:56); dan (3) memiliki kepribadian yang mulia (akhlaq al- karimah), baik terhadap diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, bahkan kepada tuhan-Nya, karena hal itu merupakan inti kerasulan
Nabi Saw. (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
Dengan
demikian seseorag dikatakan memiliki mental yang sehat apabila ia merasa “merasa tenang dan tentram dalam menjalankan
ibadah kepada Allah Awt., sehingga mendapatan kebahagian di dunia dan akhirat”.
Dalam rumusan ini dapat dipahami bahwa ketenangan dan ketentraman bukan
kriteria dan tujuan utama dalam kesehatan mental. Individu yang merasakan
ketenangan dan ketentraman jiwa tanpa diikuti oleh aktivitas yang salih belum
dinyatakan sebagai individu yangs sehat. Ketenangan dan ketentraman hanyalah
instrumen, yang dalam islah dianggap tidak memiliki nilai apa-apa, kecuali jika
ketenangandan ketentraman itu berfungsi untuk ibadah dan aktivitas salih. Dalam
rumusan yang paling sederhanan, kesehatan mental dalam Islam dapat dinyatakan
“ketenangan dan ketentraman jiwa untuk ibadah, bukan ibadah untuk ketenangan
dan ketentraman.”
4.3.Dimensi-
dimensi Kesehatan Mental dalam Islam
Kesehatan mental dalam
Islam setidak-tidaknya meliputi tiga dimensi, yaitu personal religius,
sosial-religius dan profesional-religius. Term religiius menyertai seluruh
tubuh dimensi kesehatan mental, karena sumber utama kehidupan manusia berasal
dari agama meskipun tidak mengabaikan sumber-sumber lain seperti tradisi
masyarat. Tiga dimensi kesehatan mental itu harus dijalankan dengan pendekatan
sistem, yang cara pelaksanaannya harus utuh.
Sehat mental secara personal-religus, menyangkut kualitas
perilaku individu sebagai mahkluk individual. Bentuk-bentuk kesehatan mental
ini adalah sabar (dapat mengendalikan diri); shidq (jujur); syukur (mudah
berterima kasih);ridha (satisfaction/kepuasan
diri); tawadhu’ (rendah diri); zuhud (tidak matrealistis); wara’ (menghindarkan
diri dari yang syubbat atau haram); raja’ (optimisme); haya’ (malu berbuat
jelek); ikhlas (tanpa pamrih dan penuh dedikasi); itsar (menaggalkan egoisme);
istiqamah (kontinue); husn al-dzan (positive thingking), dan fathanah (
memiliki visi yang cerdas).
Sehat mental secara sosial-religius, menyangkut kualitas
perilaku individu sebagai makhluk sosial. Bentuk-bentuk kesehatan mental ini
adalah amanah (terpercaya dan tanggungjawab); tabligh (transparan dan
akuntabilitas); musyawarah; keadilah; ukhuwah (egaliter); ta’wun (kerja sama);
tawazun (perimbangan); tasamukh (teleran), takaful (saling menanggung), dan
penyesuaian diri yang baik, sehingga dirinya tidak merasa teraliensi di
lingkungan kerjangan. Penyesuaian diri mengandung arti menahan ego dan intres
pribadi menuju pada kepaduan, loyalitas, partisipasi dan identifikasi, sehingga
tercapai kemashlatan bersama (QS. Al-Nisa’:32 dan al-Hujurat:10)
Sehat mental secara Profesional-religius, menyangkut
kualitas perilaku individu setelah memilih profesi yang ditekuni. Bentuk-bentuk
karakter ini mengutip prinsip 3-M, yaitu: Mutjahid (kreatif, produktif,
responsif dan dinamik); Mujaddid (modernis dan reformis); Mujahid (daya juang
dan optimisme yang tinggi).
4.4.Psikopatologi
dalam Islam
Dalam leksikologi
al-Ghazali dan Ibnu Qayyim, psikopatologi dapat diidentikkan dengan Qalb maridh (penyakit hati). Maridh
artinya rusak (al-fasad), lemah (dha’f), berkurang (nuqshan), dan gelap (zhulma).
Sebagai implikasi dari konsep kesehatan mental diatas, penyakit disini tidak
berhubungan dengan penyakit kejiwaan semata, seperti neurosis ( gangguan jiwa)
maupun psikosis (penyakit jiwa), melainkan terkait dengan penyakit spritual
yang disebabkan oleh perilaku dosa dan maksiat. Selain penyakit itu disebabkan
sakit hati, juga dikenai dosa bagi pelakunya.
Psikopatologi dalam
Islam, menurut Muhammad Mahmud (1984;402) dapat dibagi dalam dua kategori;pertama, bersifat duniawi. Macam macam
psikopatologi dalam kategori ini berupa gejala-gejala atau penyakit kejiwaan
yang telah dirumuskan dalam wacana psikologi kontenpores. Bentuk-bentuk
psikopatologi model ini banyak jenisnya, namun jenis yang paling umun adalah
neurosis dan psikosis; kedua,bersifat
ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau
nilai-nilai moral,spritual, dan agama. Penyakit hati merupakan bagian dari
psikopatologi ukhrawi, karena pola pikirnya didasarkan oleh kerangka ruhaniah
(spritual). Perilaku yang membuat ruh kotor dapat mengantarkan individu pada
penyakit ini.
Perilaku yang buruk
merupakan gangguan karakter (character
sisorder). Dalam perspektif ruhaniah, psikopatologi yang merusak sistem
kehidupan spritual adalah akhlah tercela (akhlaq
al- sayyi’ah), al-Ghazali (1991:53) berkata :”Akhlah yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.”.
Senada dengan pernyataan diatas, al-Razi dalam “al-Thibb al-Ruhaniyah,” menyatakan bahwa akhlak (mahmudah) merupakan pengobatan ruhani
(1995:12). Hal itu menunjukka bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah
perilaku yang tercela, sedangkan psikoterapinya adalah perilaku yang terpuji.
Akhlak tercela dianggap
sebagai psikopatologi, sebab hal ini mengakibatka dosa, baik disa vertikal
maupun hirozontal (sosial). Dosa menurut Nabi Saw, adalah: “Dosa adalah apa yang dapat membimbangkan hatimu dan engkau merasa
benci apabila perbuatan itu diketahui orang lain.” (HR. Muslim dan Ahmad
dari al-Nawas ibn Sim’an al-ansari). Dosa sebagaimana dalam hadis diatas
memiliki dua ciri patologi, yaitu:
a.
Simptomatis (al-mas’alah al-maradhiy), yang mana
individual merasa bimbnag ,gelisah, konflik dan cemas salam dirinya. Gejala
kejiwaan tersebut merupakan faktor utama penyebab neurosis dan psikosis dalam
padangan islam .Bentuknya seperti iri hati, ingkar, angkuh, pamer, marah,
obsesifm rakus.
b.
Masalah penyesuaian
diri, yang mana idividu marasa teraliensi dangan lingkungannya karena
perilakunya tidak wajar dan menyalahi aturan, yang pada gilirannya dapat
merugikan, membahayakan, dan merusak tatanan hidp bermasyarakat.
Ibnu Qayyim (1992:64-93) dalam “al-Da’u wa al-Dawa” menerangkan penyakit yang ditimbulkan dari dosa
dan maksiat, yaitu:
1.
Kekhawatiran dan
kesedihan; Kekhawatiran adalah kebencian terhadap sesuatu yang buruk akan
terjadi kelak. Sedangkan kesedihan adalah kekhawatiran yang berlaku sehingga ia
menjadi beban hidupnya.
2.
Kelemahan dan
kemalasan;; kelemahan adalah hilangnya kesanggupan untuk mendapatkan
sebab-sebab kebaikan dan keberuntungan. Sedangkan kemalasan adalah hilanya
dorongan atau motivasi untuk meraih kebaikan atau keberuntungan.
3.
Pengecut dan
pelit; Pengecut adalah ketidakmampuan diri dalam memperoleh manfaat sesuatu.
Sedangkan pelit adalah ketidakmampuan diri dalam memperoleh manfaat harta benda
4.
Ketakutan; ia
diliputi dan dihantui rasa takut, karena bersalah dan berdosa, sehingga
hidupnya tidak nyaman dan tenang.
5.
Kesakitan. Hati
terasa sajit jika melakukan dosa.
6.
Membutakan
pandangan dan pikiran hati, sehingga cahaya melemah dan mendatangkan kegelaapna
dalam dirinya.
7.
Pandangan batin
atau pandangan tentang kebenaran agama mengkikis, sehingga ia tidak mampu
membedakan yang benar dan yang batil.
4.5.Psikoterapi
dalam Islam
Psikoteapi adalah
pengobatan alam atau pikiran atau lebih tepaynya pengobatan dan perawatan
gangguan psikis melalui metode psikologis. Menurut Carl Gustav Jung (dalam
Fordham, 1998:80), psikoterapi telah melampaui asal-usul medisnya dan tidak
lagi merupakan suatu metode perawatan orang sakit. Psikoterapi kini digunakan
untuk orang yang sehat atau pada meraka yang mempunyai hak atas kesehatan
psikis yang penderitanya menyiksa kita semua.
Ibnu Qayyim
al-Jawziyyah (1993:18-20) lebih spesifik membagi psikoterai dalam dua kategori,
yaitu tabi’iyyah dan syar’iyyah.Psikoterapi tabi’iyyah adalah pengobatan secra
psikologis terhadap penyakit yang gejalanya dapat diamati dan dirasakan oleh
penderitanya dalam kondisi tertentu, seperti penyakit kecemasan, kegelisahan,
kesedihan dan amarah. Penyembuhannya dengan cara menghilangkan sebab-sebabnya.
Psikoterapi syar’iyyah adalah
pengobatan secara psikologis terhadap penyakit yang gejalanya tidak dapat
diamati dan tidak dapat dirasakan oleh penderitanya dalam kondisi tertentu,
sebab merusak qalbu seseorang seperti penyakit yang ditimbulkan dari kebodohan
syubbat, keragu-raguan, syahwat dan dosa. Pengobayannya adalah dengan al-adwiyyah al-imaniyah al-nabawiyyah atau
dengan penanaman syariat yang datangnya dari tuhan (QS. Al-An’am:125).
Klsifikasi
psikopatologi dan psikoterapinya adalah sebagai berikut:
1.
Penyakit yang
ditimbulkan dari dosa-dosa dan maksiat maksiat yang mengakibatkan kemadhratan
hati, rasa bersalah dan sulit melakukan aktialisasi diri. Terapinya adalah
dengan taubat nasuha.
2.
Perilaku buruk
dengan perilaku baik, sebab perilaku baik itu dapat menghapusnya. Terapi ini
terkait dengan ganguan karakter .abda Nabi Saw.;”takutlah kepada Allah dimana saja kamu berada. Sertakan perilaku
burukdengan perilaku baik, karena hal itu dapat menghapusnya. Berperilaku
baiklah kepada manusia dengan perilaku yang baik.”(HR. Al_Turmudzi dari Abu
Dar)
|
NO
|
PERILAKU
BURUK
(PSIKOPATOLOGI)
|
PERILAKU
BAIK
(PSIKOTERAPI)
|
|
1.
|
Dusta
(kidzb)
|
Jujur
(shidq)
|
|
2.
|
Ingkar
(kufr)
|
Berterima
kasih (syukr)
|
|
3.
|
Sombong
(kibr)
|
Rendah hati
(tawadhu)
|
|
4.
|
Pemarah
(Ghadhab)
|
Sabar (sabr)
|
|
5.
|
Pamer (riya)
|
Tulus
(ikhlas)
|
|
6.
|
Rakus
(thama)
|
Teriima yang
ada (qana’ah)
|
|
7.
|
Ragu-ragu (rayb)
|
Yakin
(yaqin)
|
|
8.
|
Buruk sangka
(su’u al-zhan)
|
Baik sangka
(husn al-zhan)
|
|
9.
|
Dst
|
Dst
|
3.
Penyakit
kebodohan, keragu-raguan dan kebimbangan, merupakan penyakit kalbu yang
disembuhkan dengam membaca, mengkhayati dan mendkwakan Al-Qur’an.
4.
Penyakit musibah
dapat disembuhkan dengan doa dan shadaqah. Sebagai terapi, doa memiliki tiga
tingkatan ;(1) doa lebih kuat dari musibah, sehingga doa itu dapat
menghilangkan musibah, (2) doa lemah dari pada musibah, sehingga doa hanya
meringankan musibah, (3) antara doa dan musibah setara, sehingga salah satunya
mendominasi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ardani.TA,
Kesehatan Mental Islam(2012),
Bandung,Karya Putra Darwati
Seminum.Y,Kesehatan Mental Pandangan Umum Mengenai
Penyesuaian Diri dan Kesehatan Mental Serta Teori-teori Yang Terkait (2006),
Yogyakarta, Konisius
Mujib.A,
Mudzakir.J Nuansa-nuansa Psikologi Islam (2002),
Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada
Nur
Hasan. 2012.Kesehatan Mental Dalam
Perspektif Islam. Diambil Dari:
nurhasan-unija.blogspot.co.id/2012/12/kesehatan-mental-dalam-perspektif-islam.html?m=1
(25 Maret-20.00)
Dewi-kesmen.blogspot.com/2013/01/pengertian-kesehatan-mental.html?m=1,
(25 Maret, 20.00.)
Psikologi-islam-antasari.blogspot.co.id/2012/08/i.html?m=1,
(25 Maret,20.00)
Komentar
Posting Komentar